Manusia rekaan bukanlah manusia hasil kloning atau manusia robot. Tetapi manusia yang memiliki jiwa raga tetapi dikekang oleh orang lain sehingga terbentuk menjadi manusia sesuai keinginan orang lain bukan sesuai keinginan pemilik tubuh. Akibatnya si manusia tadi tercipta menjadi manusia yang egosentris. Manusia yang berpikir karena dirinya,bukan karena orang lain. Dia tidak mengganggu orang lain bukan karena orang lain itu tapi demi dirinya.
Perilaku demikian disebabkan oleh kondisi komponen pendidikan yang sudah tidak selaras lagi. Tiga komponen pendidikan itu adalah keluarga, lingkungan, dan sekolah. Keluarga dalam hal ini orangtua yang merupakan pendidik utama telah lupa akan perannya. Orang tua hanya sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga didikan-didikan yang bersifat kearifan lokal tidak lagi didapatkan oleh sianak. Keterbatasan orang tua dalam mendidik harusnya dilengkapi oleh lingkungan justru menjadikan teori terbalik.
Lingkungan kerap tidak peduli dengan perilaku sianak apalagi ketika lingkungan tersebut merupakan lingkungan yang "tidak sehat". Lingkungan yang seharunya mengajarkan si anak bagaimana membangun komunitas sosial dan rasa solidaritas yang minim didapatkan dikeluarga berubah menjadi mengajarkan pembentukan komunitas ekstrem, yakni komunitas yang mengabaikan kondisi orang lain, komunitas yang merendahkan derajat orang lain. Sementara rasa solidaritas hanya menjadi bagian dari komunitas ekstrem tersebut dan cuek terhadap komunitas diluarnya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh persekolahan kita, persekolahan yang harusnya memberikan pengajaran mendapatkan beban yang menumpuk akibat kondisi keluarga dan lingkungan tadi. Keterfokusan sekolah harusnya mengajarkan si anak dalam menumbuhkembangkan intelektualnya, berubah menjadi mendidik si anak agar lebih bermoral. Hal ini bisa dilihat dengan gencar-gencarnya Kementrian Pendidikan Nasional untuk melaksanakan pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Parahnya persekolahan kita, sianak diajarkan bukan sebagai anak melainkan seperti orang dewasa. Tepatnya dewasa muda. Dimana si anak dituntut untuk bertindak-tanduk layaknya orang dewasa. Orang yang tidak perlu mendapatkan bimbingan dalam mengatasi dirinya. Kondisi demikian terjadi mulai dari tingkatan dasar hingga menengah.
Bahkan ada sekolah yang sengaja membuat si anak ikut berpikir demikian dengan cara membuat peryataan bahwa perbedaan sekolah dasar dan sekolah lanjutan ialah dari cara bermainnya. Jika pada sekolah dasar sesama anak saling kejar-mengejar adalah hal yang wajar tetapi pada sekolah lanjutan itu adalah hal yang tabu. Padahal anak tetaplah anak yang butuk bermain.
Manusia rekaan
Tuntutan zaman yang serba cepat dan berteknologi tinggi menjadikan setiap orang berpacu lebih cepat dari waktu agar tidak pernah tertinggal meski sedetik. Menjadikan derajat sosial adalah hal yang lebih penting. Anak lahir dan dibesarkan orang tua dengan tuntutan si anak akan mengikuti kemauan orangtuanya, agar kelak sianak mampu menjaga bahkan meningkatkan derajat sosial keluarga mereka. Menjadikan apa yang dimiliki sianak sejak lahir tidak pernah bebas berkembang. Karena lingkungan pun mendorong terjadinya hal itu. Sementara sekolah yang merupakan pembantu orang tua dalam mengajar anak berubah menjadi pemeran utama yang mendapat tugas menjadikan anak seperti keinginan orangtua tadi. Padahal adanya sekolah disebabkan ketidakmampuan lingkungan dalam memberikan pengajaran pada sianak. Sianak sendiri harusnya diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya dengan bimbingan berdasarkan porsi ketiga komponen tersebut.
Kalau hal ini terus dibiarkan berlangsung, jelaslah sudah bahwa anak-anak yang bertumbuh di Indonesia ini akan semakin kehilangan daya imajinatif, cipta dan kreativitasnya. Sehingga wajar saja ketika di Indonesia tingkat penganguran terdidik serta pencari kerja tetap tinggi. Sebab anak di Indonesia ini bertumbuh dan berkembang bukan karena kebebasan dalam menentukan pilihannya.
Oleh karena itu langkah terbaik yang harus diambil adalah dengan mengembalikan peran ketiga komponen tersebut. Orangtua mesti mendidik anak tanpa tuntutan berlebihan, lingkungan harus peduli pada perilaku sianak,meskipun anak tersebut bukan anaknya. Jika tidak baik harus ditegur. Anak yang di didik di rumah dan lingkungan barulah layak mendapatkan pengajaran disekolah sehingga sekolah benar-benar menciptakan intelektual-intelektual baru yang siapa membuat perubahan kearah yang lebih baik.
Penulis Mahasiswa Pendidikan Matematika,
Anggota Komisariat FPMIPA IKIP Gunungsitoli